LRNews Online

your daily online magazine

Archive for Desember 2009

Soal Century, Kinerja KPK Mulai Dipertanyakan

leave a comment »

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut Skandal Bank Century dipertanyakan. KPK dianggap lamban menangani kasus yang diduga mellibatkan petinggi negeri ini.

Keluhan ini dilontarkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Menurut mereka KPK tertinggal jauh oleh DPR dalam mengusut kasus Century.

Menurut salah satu perwakilan massa, Abdullah Dahlan, dasar yang dijadikan KPK untuk mengungkap skandal ini sama dengan yang diterima Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century.

Dikatakannya, DPR dan KPK sama-sama menggunakan hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Audit tersebut telah menyatakan dengan terang benderang adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran aturan dalam penanganan Bank Century,” katanya, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/12).

Abdulah menyebutkan penegakan hukum kasus ini harus mendahului penyelesaian secara politis. Mereka khawatir semakin lama KPK menyimpan skandal ini, komisi tersebut mudah untuk masuk angin.

Dijelaskan Abdullah, yang juga aktivis ICW itu, dari hasil audit BPK, ada empat dugaan tindak pidana korupsi. Pertama, kata dia, saat penggabungan sejumlah bank bermasalah menjadi Bank Century serta longgarnya pengawasan Bank Indonesia. “Selanjutnya ada dugaan penyelewengan dalam pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP),” kata dia.

Ketiga, dugaan penyelewengan wewenang dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik kemudian saat ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Adanya dugaan penyimpanan penggunaan dana FPJP dan Penyertaaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp 6,7 triliun,” tambah dia.

Ketika penyatuan sejumlah bank menjadi Bank Century, Abdullah menuding, Bank Indonesia memberikan keistimewaan pada satu bank CIC yang sedang bermasalah. Kemudian, lanjutnya, saat pemberian FPJP, terkesan BI memuluskan Bank Century untuk mendapat bantuan itu.

“Dengan mengubah Peraturan BI No.10/26/PBI/2008 menjadi PBI No.10/30/PBI/2008. Peraturan pertama mensyaratkan pemohon FPJP wajib memiliki rasio kecukupan modal (CAR) 8 persen diubah menjadi pemohon hanya memiliki CAR positip,” jelas dia.

Sedangkan untuk keputusan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik terkesan dipaksakan.

Menurut dia, kebijakan itu Hanya dilandasi analisa kualitatif terkait dampak psikologi pasar yang berkelanjutan. “Dugaan lain adanya tindak pidana penyalahgunaan dana terkait penggunaan dana FPJP dan PMS,” kata dia.

Untuk itu, berdasarkan data-data yang telah diberikan dari berbagai lembaga ke KPK termasuk BPK, LPS, dan PPATK. Menurut dia, seharusnya KPK dapat lebih cepat bergerak dalam mengungkap skandal Bank Century. “Terutama yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi,” imbuhnya.

Keyakinan itu, sambung dia, dilandasi berbagai karena KPK memiliki sumber daya yang memadai, otoritas dan kewenangan besar. “Namun, kenyataannya, Pansus lebih progresif dengan memanggil sejumlah orang,” ujar Abdullah.

Sementara itu, Totok Sugiarto dari Soegeng Sarjadi Syndicate mengkhawatirkan, semakin lama KPK menangani skandal ini, peluang komisi ‘masuk angin’ makin besar.

Hal serupa dikatakan Sebastian Salang dari Formappi yang mendesak KPK harus mengiringi kemajuan yang dihasilkan Pansus. “Masyarakat selalu ada di belakang KPK untuk memberantas korupsi,” tandasnya.

Sejumlah LSM ini mengaku sepakat untuk sekali dalam dua pekan datang ke KPK maupun Pansus Hak Angket DPR guna menanyakan kemajuan penanganan.

“Ini sebagai bentuk pengawasan masyarakat bagi kinerja pengawasan dua lembaga itu,” imbuh Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti.

Sejumlah LSM yang tergabund dalam kualisi ini yakni, Formappi, ICW, KIPP, KRHN, Lingkar Madani, Soegeng Sarjadi Syndicate, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Komite Pemilih Indonesia (Tepi), dan Yappika.

Written by lrnewsonline

21 Desember 2009 at 11:08

KPPU Selamatkan Uang Masyarakat 20 Triliun

leave a comment »

Pengawasan persaingan usaha di Indonesia boleh jadi dalam setahun terakhir begitu melegakan. Setelah di kurun waktu lalu, Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat beberapa bisnis maupun pelaku usaha dijerat dan ditertibkan dengannya, kini Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sepertinya kian menunjukkan jatidirinya.

Lembaga pengawas persaingan usaha itu selama tahun 2009 ini menerima 730 laporan dan menyidangkan 140 kasus persaingan usaha. Hal ini terungkap dari Benny Pasaribu, Ketua KPPU, pada wartawan Senin (21/12). Bukan hanya itu, ungkap Benny, KPPU mengaku telah berhasil menyelamatkan uang masyarakat melalui berbagai putusannya.

“Kita bisa selamatkan sekitar Rp 20 triliun uang masyarakat dari penyelesaian beberapa kasus di 2009,” kata Ketua KPPU, Benny Pasaribu, di Jakarta, Senin (21/12).

Ia mengaku ada kemajuan dari penyelesaian kasus-kasus persaingan usaha yang dilakukan KPPU selama 2009. Hal tersebut juga tercermin pada penurunan indeks persepsi korupsi.

Namun demikian, ia mengatakan KPPU belum merasa puas dengan hasil yang dicapai saat ini. Menurut dia, masih perlu ada penyempurnaan Peraturan Perundang-undangan.

“Apa yang ada dalam Undang-undang Persaingan Usaha Sehat ini juga harus diikuti oleh Undang-undang lain, seperti Undang-undang Perdagangan, Perindustrian, Perfilman,” ujar dia.

Dijelaskannyaa, UU Persaingan Usaha Sehat harus menjadi payung hukum bagi UU yang lain. Terkait dengan hambatan eksekusi sanksi yang telah diputuskan KPPU,menurut dia, sejauh ini tidak menghadapi masalah.

“Banyak yang sudah menjalankan putusan KPPU, tapi memang masih ada juga yang belum. Itu kita serahkan saja ke Pengadilan Negeri, mereka yang lakukan eksekusi,” ujar Benny.

Kepala Biro Humas KPPU, A Junaidi mengatakan bahwa di tahun 2009 ini pihaknya berhasil menyelamatkan uang masyarakat sebesar Rp5,1 triliun dari efisiensi tarif pesan singkat (short message service/SMS) operator.

Sedangkan dari penurunan tarif pesawat udara, menurut dia, berhasil menyelamatkan uang masyarakat hingga Rp 1,9 triliun. “Kita juga menyumbang Rp 1,05 triliun kepada negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak dari denda dan ganti rugi di tahun 2009,” ujar dia.

Written by lrnewsonline

21 Desember 2009 at 10:30

Soal Rekaman, Sikap BPK Dipertanyakan

leave a comment »

Ketua Pansus Century Idrus Marham

Rapat Pansus Hak Angket Pengusutan Kasus Bank Century dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hari ini dipenuhi tanda tanya besar dari sebagian anggota pansus. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak membawa rekaman rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diminta oleh Pansus Hak Angket Pengusutan Kasus Bank Century DPR dalam surat undangan.

Sebagian besar anggota pansus terlihat begitu heran melihat kenyataan ini. Salah satu yang mempertanyakannya adalah Gayus Lumbuun dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga sebagai Wakil Ketua Pansus. Ia menandaskan setiap warga negara harus memberikan semua informasi yang diperlukan pansus, apalagi dalam undangan sudah dicantumkan mengenai hal itu.

Ketua Pansus Idrus Marham sepertinya tak kekurangan akal. Ia dan anggota pansus lainnya akan berusaha untuk mendapatkan rekaman dan hasil notulensi rapat KSSK itu.

Tak Direstui Menkeu?

Menanggapi pertanyaan mengapa rekaman maupun notulensi rapat KSSK tidak dibawa, Ketua BPK Hadi Purnomo mengungkapkan, kesediaan BPK untuk memberikan “terganjal” izin dari Departemen Keuangan sebagai pemilik rekaman dan dokumen notulensi surat.

“Surat dari Menkeu yang sudah sampai mengatakan: ‘Dapat kami sampaikan rekaman dan dokumen notulen adalah bahan auditor. Apabila pansus memerlukan rekaman dan dokumen notulen tersebut, Pansus dapat meminta kepada Menkeu selaku mantan Ketua KSSK,” ujar Hadi di depan Pansus Century, Rabu (16/12/2009).

Surat tersebut ditandatangani oleh Setjen Depkeu Mulya T Nasution. Sempat terjadi perdebatan tentang kewenangan BPK untuk mengungkap rekaman dan dokumen notulensi tersebut.

Adu Payung Hukum

Wakil Ketua Pansus Gayus Lumbuun mengatakan, semua warga negara wajib memenuhi panggilan dan menjawab semua pertanyaan Pansus Hak Angket menurut UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD.

“Jadi, sah untuk meminta rekaman dan dokumen notulensi rapat,” ujarnya.

Ketua Pansus Century Idrus Marham juga mempertanyakan apakah BPK juga memiliki rekaman dan dokumen notulensi. Hadi membenarkannya. Idrus pun mengatakan bahwa UU No 6/1954 tentang Panitia Hak Angket membuat DPR dapat meminta data-data BPK tanpa izin Menkeu.

Hadi membenarkan, tetapi tak dapat dihindarkan bahwa warga negara pun harus tunduk kepada UU No 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terutama Pasal 28b.

Dalam UU, kata Hadi, anggota BPK dilarang mempergunakan keterangan bahan data, info, atau dokumen lain yang diperoleh saat melakukan tugas yang melampaui batas kewenangan, kecuali untuk kewenangan penyelidikan terkait tindak pidana.

“Apa panitia angket memiliki kewenangan penyelidikan?” katanya.

Kembali terjadi perdebatan seputar kapasitas BPK diundang ke DPR. Anggota Pansus Benny K Harman dan Ruhut Sitompul mengatakan, BPK tak bisa dipaksa untuk menyerahkan rekaman dan dokumen notulensi karena hadir sebagai mitra.

Namun, Idrus tetap menilai bahwa rekaman dan dokumen notulensi diperlukan untuk mendukung keabsahan kerja Pansus. Idrus dan Gayus pun tak memperpanjang lagi karena tak ingin membuang waktu.

“Kalau nanti diperlukan di tengah-tengah, kita nanti bicarakan lagi,” tandas Idrus.

Written by lrnewsonline

16 Desember 2009 at 06:36

Kasus Century Dibawa Juga ke MK

leave a comment »

Dewi (kiri) meluapkan kekesalan kepada perwakilan Bank Century karena tidak mendapatkan penjelasan pasti mengenai nasib uang mereka di kantor pusat Bank Century di kawasan Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kasus bailout Bank Century sepertinya kian memanas. Setelah mulai bergulir di Senayan (baca: Dewan Perwakilan Rakyat) lewat Pembentukan Panitia Khusus Kasus Bailout Bank Century dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini ada juga yang mempersoalkannya lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

Adapun yang dipermasalahkan adalah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 yang merugikan Adhi M. Massardi, Sri Gaya Tri, dan Agus Wahid.

Kerugian pemohon itu disampaikan Kuasa Hukum Pemohon Farhat Abbas di ruang sidang panel MK, Senin (14/12), dalam sidang uji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, dan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Sidang Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dipimpin oleh Panel Hakim yang terdiri dari M. Akil Mochtar sebagai Ketua dan dua Hakim Anggota Panel Maria Farida Indrati dan Harjono. Sidang dihadiri para Pemohon Adhie M. Massardi, Sri Gaya Tri, dan Agus Wahid.

Pemohon mendalilkan Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU Nomor 6/2009 bertentangan dengan UUD 1945 karena norma-norma “kesulitan keuangan”, yang “berdampak” “sistemik” dan “yang berpotensi” mengakibatkan “krisis” “yang membahayakan sistem keuangan”, norma-norma tersebut tidak memberikan kepastian hukum karena terlampau elastis. Norma-norma yang tertera dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU aquo terbuka untuk ditafsirkan secara subyektif oleh otoritas Menteri Keuangan (Menkeu) dan Bank Indonesia (BI), sehingga tidak memberi jaminan kepastian hukum.

Menurut Pemohon, frasa “mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan”, adalah norma yang bersifat terbuka, tidak jelas ukuran-ukurannya, sehingga dapat diinterpretasikan secara subyektif oleh Menkeu dan otoritas BI. Begitu pula frasa “darurat”, selain tidak jelas ukurannya, juga harus diinterpretasikan bahwa pembentuk undang-undang telah mengalihkan kewenangan konstitusional Presiden menyatakan keadaan darurat kepada Menkeu. “Padahal secara konstitusional kewenangan itu tidak dapat didelegasikan kepada siapapun juga,” jelas Farhat.

Oleh karena itu, menurut Pemohon, norma dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5) UU No. 6 Tahun 2009 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Sedangkan mengenai Pasal 29 Perppu Nomor 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang menyatakan, “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini,” memberikan legitimasi kuat kepada pembuat kebijakan sehingga tidak dapat dipidana.

Farhat Abas, Kuasa Hukum Pemohon, bersama salah satu pemohon, Sri Gaya Tri, sedang menyimak keterangan hakim konstitusi (14/12).

Menurut Farhat Abbas, pada 18 Desember 2008, Perppu tersebut ditolak oleh DPR. Akan tetapi, pada kenyataannya Perppu tersebut masih berlaku. “Tetapi (Perppu Nomor 4/2008) masih berlaku dan menjadi payung hukum dalam pengeluaran dana 6,7 triliun,” lanjut Farhat.

Dalam provisinya, Pemohon meminta Majelis agar memerintahkan Mantan Wapres RI H. M. Yusuf Kalla, Wapres Boediono (Mantan Gubernur BI), Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua BPK, Jaksa Agung, PPATK, KPK, dan LPS untuk hadir di sidang Mahkamah Konstitusi sebagai Pihak Terkait. “Kehadiran Pihak Terkait diperlukan untuk diminta keterangan atau bukti-bukti mengenai aliran dana talangan ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 trilyun,” sambung Farhat.

Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar menyarankan perbaikan permohonan khususnya mengenai struktur permohonan. Menurutnya, permohonan tidak terstruktur sebagaimana mestinya. “Seharusnya (urutannya), di depan adalah kewenangan MK, legal standing (Pemohon), kemudian pokok permohonan,” lanjut Akil.

Senada dengan Akil, Harjono juga menyoroti tentang struktur permohonan. Sedangkan Maria Farida menilai permohonan terlalu melebar dan tidak fokus. Akhirnya, Majelis Hakim memberikan kesempatan waktu maksimal 14 hari kepada Pemohon atau kuasanya untuk memperbaiki permohonan.

Written by lrnewsonline

16 Desember 2009 at 06:03